Mengenal Seni Teater Tradisional Indonesia
Di Indonesia banyak memiliki bentuk-bentuk seni teater. Seni teater ini
sering disebut teater tradisional. Berikut adalah gambaran tentang
bentuk teater tradisional yang berkembang di Indonesia.
A. Wayang
Wayang
dikenal sejak zaman prasejarah yaitu sekitar 1500 tahun sebelum Masehi.
Masyarakat Indonesia memeluk kepercayaan animisme berupa pemujaan roh
nenek moyang yang disebut hyang atau dahyang, yang diwujudkan dalam
bentuk arca atau gambar.
Wayang merupakan seni tradisional Indonesia
yang terutama berkembang di Pulau Jawa dan Bali. Pertunjukan wayang
telah diakui oleh UNESCO pada tanggal 7 November 2003, sebagai karya
kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang cerita narasi dan warisan yang
indah dan sangat berharga (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage
of Humanity).
G.A.J. Hazeu mengatakan bahwa wayang dalam bahasa/kata
Jawa berarti: bayangan , dalam bahasa melayu artinya: bayang-bayang,
yang artinya bayangan, samar-samar, menerawang. Bahasa Bikol menurut
keterangan Profesor Kern, bayang, barang atau menerawang. Semua itu
berasal dari akar kata "yang" yang berganti-ganti suara yung, yong,
seperti dalam kata: laying (nglayang)=yang, dhoyong=yong, reyong=yong,
reyong-reyong, atau reyang-reyong yang berarti selalu berpindah tempat
sambil membawa sesuatu, poyang-payingen, ruwet dari kata asal: poyang,
akar kata yang. Menurut hasil perbandingan dari arti kata yang akar
katanya berasal dari yang dan sebagainya tadi, maka jelas bahwa arti
dari akar kata: yang, yung, yong ialah bergerak berkali-kali, tidak
tetap, melayang.
Pengertian bayang-bayang/bayangan yang lain
untuk menerangkan kata dan makna wayang itu dalam bahasa Jawa yang
disebut sebagai ayang-ayang. Misalnya seseorang yang sedang berdiri atau
duduk di suatu tempat, kemudian ia diterpa cahaya matahari yang
mengenai badan orang itu, maka orang itu menghasilkan bayangan. Bayangan
inilah yang kemudian oleh orang Jawa sering dinamakan ayang-ayang.
Tentu saja panjang-pendeknya ayang-ayang tersebut sangat bergantung pada
sudut posisi matahari. Apabila matahari dalam posisi rendah, maka
bayangan orang itu menjadi panjang, dan apabila sudut matahari tinggi,
bayangan semakin pendek.
Pengertian-pengertian wayang di atas
lebih beroriantasi pada seni pertunjukan yang memperhatikan/menekankan
pada efek yang dihasilkan pada suatu boneka atau sejenisnya setelah
benda tersebut dikenal/disorot dengan cahaya yang datangnya dari sebuah
lampu (blencong), yang kemudian menghasilkan suatu bayangan. Dari
bayangan yang dihasilkan itu kemudian ditangkap oleh sekat, layar
(kelir), yang akhirnya menghasilkan bayangan lagi di bagian belakang
layar (dibalik kelir). Bila demikian maka terdapat dua bagian bayangan;
yang pertama, bayangan di depan layar terjadi apabila boneka tersebut
digerakkan menjauhi layar dan mendekati blencong, maka bayangan akan
membesar baik di depan atau di belakang layar.
B. Makyong
Makyong
adalah seni teater tradisional masyarakat Melayu yang sampai sekarang
masih digemari dan sering dipertunjukkan sebagai dramatari dalam forum
internasional. Makyong dipengaruhi oleh budaya Hindu-Buddha Thai dan
Hindu-Jawa. Nama makyong berasal dari mak hyang, nama lain untuk dewi
sri, dewi padi. Di zaman dulu, pertunjukan makyong diadakan orang desa
di pematang sawah selesai panen padi. Makyong adalah teater tradisional
yang berasal dari Pulau Bintan, Riau. Makyong berasal dari kesenian
istana sekitar abad ke-19 sampai tahun 1930-an. Makyong dilakukan pada
siang hari atau malam hari. Lama pementasan ± tiga jam.
Pertunjukan
makyong dibawakan kelompok penari dan pemusik profesional yang
menggabungkan berbagai unsur upacara keagamaan, sandiwara, tari, musik
dengan vokal atau instrumental, dan naskah yang sederhana. Permainan
makyong terdiri ± atas lima orang, baik laki-laki maupun perempuan dan
seorang pencerita yang disebut Awang. Tokoh utama pria dan wanita
keduanya dibawakan oleh penari wanita. Tokoh-tokoh lain yang muncul
dalam cerita misalnya pelawak, dewa, jin, pegawai istana, dan binatang.
Pertunjukan
makyong diiringi alat musik seperti rebab, gendang, dan tetawak.
Makyong di kepulauan Riau dibawakan penari dengan memakai topeng,
berbeda dengan di Malaysia yang tanpa topeng. Maka, pertunjukan makyong
di Indonesia sering disebut sendratari topeng. Cerita dalam pertunjukan
makyong diambil dari cerita-cerita Hikayat Melayu.
C. Drama Gong
Drama
Gong adalah sebuah bentuk seni pertunjukan Bali yang masih relatif muda
usianya yang diciptakan dengan jalan memadukan unsur-unsur drama modern
(non tradisional Bali) dengan unsur-unsur kesenian tradisional Bali.
Dalam banyak hal Drama Gong merupakan pencampuran dari unsur-unsur
teater modern (Barat) dengan teater tradisional (Bali). Karena dominasi
dan pengaruh kesenian klasik atau tradisional Bali masih begitu kuat,
maka semula Drama Gong disebut "drama klasik". Nama Drama Gong diberikan
kepada kesenian ini oleh karena dalam pementasannya setiap gerak pemain
serta peralihan suasana dramatik diiringi oleh gamelan Gong (Gong
Kebyar). Drama Gong diciptakan sekitar tahun 1966 oleh Anak Agung Gede
Raka Payadnya dari desa Abianbase (Gianyar).
Drama Gong adalah sebuah
drama yang pada umumnya menampilkan lakon-lakon yang bersumber pada
cerita-cerita romantis seperti cerita Panji (Malat), cerita Sampik
Ingtai dan kisah sejenis lainnya termasuk yang berasal dari luar
lingkungan budaya Bali. Dalam membawakan lakon ini, para pemain Drama
Gong tidak menari melainkan berakting secara realistis dengan
dialog-dialog verbal yang berbahasa Bali.
Para pemain mengenakan
busana tradisional Bali, sesuai dengan tingkat status sosial dari peran
yang dibawakan dan setiap gerak pemain, begitu pula perubahan suasana
dramatik dalam lakon diiringi dengan perubahan irama gamelan Gong
Kebyar. Masyarakat Bali mementaskan Drama Gong untuk keperluan yang
kaitannya dengan upacara adat dan agama maupun kepentingan kegiatan
sosial. Walaupun demikian, Drama Gong termasuk kesenian sekuler yang
dapat dipentaskan di mana dan kapan saja sesuai dengan keperluan.
Kesenian Drama Gong inilah yang memulai tradisi pertunjukan "berkarcis"
di Bali karena sebelumnya pertunjukan kesenian bagi masyarakat setempat
tidak pernah berbentuk komersial. Drama Gong mulai berkembang di Bali
sekitar tahun 1967 dan puncak kejayaannya adalah tahun1970. Namun
semenjak pertengahan tahun 1980 kesenian ini mulai menurun
popularitasnya, sekarang ini ada sekitar 6 buah sekaa Drama Gong yang
masih aktif.
D. Randai
Randai adalah kesenian (teater) khas
masyarakat Minangkabau, Sumatra Barat yang dimainkan oleh beberapa
orang (berkelompok atau beregu). Randai dapat diartikan sebagai
“bersenang-senang sambil membentuk lingkaran” karena memang pemainnya
berdiri dalam sebuah lingkaran besar bergaris tengah yang panjangnya
lima sampai delapan meter. Cerita dalam randai, selalu mengangkat cerita
rakyat Minangkabau, seperti cerita Cindua Mato, Malin Deman, Anggun
Nan Tongga, dan cerita rakyat lainnya. Konon kabarnya, randai pertama
kali dimainkan oleh masyarakat Pariangan, Padang Panjang, ketika mereka
berhasil menangkaprusa yang keluar dari laut.
Biasanya randai
dimainkan pada perayaan pesta, seperti: pernikahan, pengangkatan
penghulu atau pada hari besar tertentu. Bahkan, pemerintah Sumatera
Barat mengemas kesenian randai sebagai salah satu “icon” daerah untuk
menarik para wisatawan datang berkunjung ke Sumatera Barat.
Kesenian
randai sudah dipdntaskan di beberapa tempat di Indonesia dan bahkan
dunia. Bahkan randai dalam versi bahasa Inggris sudah pernah dipentaskan
oleh sekelompok mahasiswa di University of Hawaii, Amerika Serikat.
Kesenian
randai yang kaya dengan nilai etika dan estetika adat Minangkabau ini,
merupakan hasil penggabungan dari beberapa macam seni, seperti: drama
(teater), seni musik, tari dan pencak silat.
Dalam sebuah randai,
ada beberapa pemain pendukung, di antaranya: pemain galombang, yang
melakukan gerak-gerak gelombang yang bersumber dari bunga-bunga silat;
pembawa alur cerita, pemain ini akan berbicara secara lantang
menyampaikan narasi demi narasi yang menjadi ruh cerita randai; pemain
musik/dendang, merekalah yang akan memainkan talempong, gendang,
serunai, saluang, puput batang padi, bansi, rabab dan lainnya; pemain
pasambahan, bertugas berbicara atau berdialog dalam petatah-petitih
Minangkabau. Pemain ini akan memberi bobot dan pesan moral lewat kiasan
yang ia sampaikan; dan pemain silat yang tampil ketika ada alur cerita
menghendaki perkelahian.
E. Mamanda
Mamanda adalah seni teater
atau pementasan tradisional yang berasal dari Kalimantan Selatan.
Dibanding dengan seni pementasan yang lain, Mamanda lebih mirip dengan
Lenong dari segi hubungan yang terjalin antara pemain dengan penonton.
Interaksi ini membuat penonton menjadi aktif menyampaikan
komentar-komentar lucu yang disinyalir dapat membuat suasana jadi lebih
hidup.
Bedanya, Kesenian lenong kini lebih mengikuti zaman ketimbang
Mamanda yang monoton pada alur cerita kerajaan. Sebab pada kesenian
Mamanda tokoh-tokoh yang dimainkan adalah tokoh baku seperti Raja,
Perdana Menteri, Mangkubumi, Wazir, Panglima Perang, Harapan Pertama,
Harapan kedua, Khadam (Badut/ajudan), Permaisuri dan Sandut (Putri).
Tokoh-tokoh
ini wajib ada dalam setiap Pementasan. Agar tidak ketinggalan,
tokoh-tokoh Mamanda sering pula ditambah dengan tokoh-tokoh lain seperti
Raja dari Negeri Seberang, Perompak, Jin, Kompeni dan tokoh-tokoh
tambahan lain guna memperkaya cerita.
Disinyalir istilah Mamanda
digunakan karena di dalam lakonnya, para pemain seperti Wazir, Menteri,
dan Mangkubumi dipanggil dengan sebutan pamanda atau mamanda oleh Sang
Raja. Mamanda secara etimologis terdiri dari kata "mama" (mamarina) yang
berarti paman dalam bahasa Banjar dan “nda” yang berarti terhormat.
Jadi mamanda berarti paman yang terhormat. Yaitu “sapaan” kepada paman
yang dihormati dalam sistem kekerabatan atau kekeluargaan.
Asal
muasal Mamanda adalah kesenian Badamuluk yang dibawa rombongan Abdoel
Moeloek dari Malaka tahun 1897. Dulunya di Kalimantan Selatan bernama
Komedi Indra Bangsawan. Persinggungan kesenian lokal di Banjar dengan
Komedi Indra Bangsawan melahirkan bentuk kesenian baru yang disebut
sebagai Ba Abdoel Moeloek atau lebih tenar dengan Badamuluk. Kesenian
ini hingga saat ini lebih dikenal dengan sebutan mamanda.
Bermula
dari kedatangan rombongan bangsawan Malaka (1897 M) yang dipimpin oleh
Encik Ibrahim dan isterinya Cik Hawa di Tanah Banjar, kesenian ini
dipopulerkan dan disambut hangat oleh masyarakat Banjar. Setelah
beradaptasi, teater ini melahirkan sebuah teater baru bernama "Mamanda".
Seni
drama tradisional Mamanda ini sangat populer di kalangan masyarakat
kalimantan pada umumnya. Bahkan, beberapa waktu silam seni lakon Mamanda
rutin menghiasi layar kaca sebelum hadirnya saluran televisi swasta
yang turut menyaingi acara televisi lokal. Tak heran kesenian ini sudah
mulai jarang dipentaskan.
Dialog Mamanda lebih kepada improvisasi
pemainnya. Sehingga spontanitas yang terjadi lebih segar tanpa ada
naskah yang mengikat. Namun, alur cerita Mamanda masih tetap
dikedepankan. Disini Mamanda dapat dimainkan dengan naskah yang utuh
atau inti ceritanya saja
F. Longser
Longser merupakan salah
satu bentuk teater tradisional masyarakat sunda, Jawa barat. Longser
berasal dari akronim kata melong (melihat dengan kekaguman) dan saredet
(tergugah) yang artinya barang siapa yang melihat pertunjukan longser,
maka hatinya akan tergugah. Longser yang penekanannya pada tarian
disebut ogel atau doger. Sebelum longser lahir dan berkembang, terdapat
bentuk teater tradisional yang disebut lengger.
Busana yang dipakai
untuk kesenian ini sederhana tapi mencolok dari segi warnanya terutama
busana yang dipakai oleh ronggeng. Biasanya seorang ronggeng memakai
kebaya dan kain samping batik. Sementara, untuk lelaki memakai baju
kampret dengan celana sontog dan ikat kepala.
G. Ketoprak
Ketoprak
merupakan teater rakyat yang paling populer, terutama di daerah
Yogyakarta dan daerah Jawa Tengah. Namun di Jawa Timur pun dapat
ditemukan ketoprak. Di daerah-daerah tersebut ketoprak merupakan
kesenian rakyat yang menyatu dalam kehidupan mereka dan mengalahkan
kesenian rakyat lainnya seperti srandul dan emprak.
Kata ‘kethoprak’
berasal dari nama alat yaitu Tiprak. Kata Tiprak ini bermula dari prak.
Karena bunyi tiprak adalah prak, prak, prak. Serat Pustaka Raja Purwa
jilid II tulisan pujangga R. Ng. Rangga Warsita dalam bukunya
Kolfbunning tahun 1923 menyatakan “… Tetabuhan ingkang nama kethoprak
tegesipun kothekan”
ini berarti kethoprak berasal dari bunyi prak, walaupun awalnya bermula dari alat bernama tiprak.
Kethoprak
juga berasal dari kothekan atau gejogan. Alat bunyi-bunyian yang berupa
lesung oleh pencipta kethoprak ditambah kendang dan seruling.
Pada
mulanya ketoprak merupakan permainan orang-orang desa yang sedang
menghibur diri dengan menabuh lesung pada waktu bulan purnama, yang
disebut gejogan. Awalnya kethoprak dalam permainannya, selain juga
menari, semuanya diberi bingkai yang sederhana, misalnya seorang istri
mengirim makanan dan minuman untuk suaminya yang sedang bekerja disawah,
gadis desa yang beramai-ramai menuai padi, dan sebagainya. Semuanya
gerak diekspresikan melalui tari yang sangat sederhana. Dalam sebuah
artikel menyatakan bahwa Semula kethoprak merupakan hiburan rakyat yang
diciptakan oleh seseorang di luar kerajaan. Mereka menyiapkan panggung
dan berlagak menjadi raja, pejuang, pangeran, putri, dan siapapun yang
mereka inginkan. Pada perkembangannya, hiburan kethoprak juga dinikmati
oleh anggota kerajaan. Dan di setiap penampilannya selalu ada pelawak
yang membuat kethoprak terasa semakin hidup
Dalam perkembangannya
menjadi suatu bentuk teater rakyat yang lengkap. Ketoprak merupakan
salah satu bentuk teater rakyat yang sangat memperhatikan bahasa yang
digunakan. Bahasa sangat memperoleh perhatian, meskipun yang digunakan
bahasa Jawa, namun harus diperhitungkan masalah unggahungguh bahasa.
Dalam bahasa Jawa terdapat tingkat-tingkat bahasa yang digunakan, yaitu:
- Bahasa Jawa biasa (sehari-hari)
- Bahasa Jawa kromo (untuk yang lebih tinggi)
- Bahasa Jawa kromo inggil (yaitu untuk tingkat yang tertinggi)
Menggunakan
bahasa dalam ketoprak, yang diperhatikan bukan saja penggunaan
tingkat-tingkat bahasa, tetapi juga kehalusan bahasa. Karena itu muncul
yang disebut bahasa ketoprak, bahasa Jawa dengan bahasa yang halus dan
spesifik.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Kethoprak adalah
seni pertunjukan teater atau drama yang sederhana yang meliputi unsur
tradisi jawa, baik struktur lakon, dialog, busana rias, maupun
bunyi-bunyian musik tradisional yang dipertunjukan oleh rakyat.
H. Ludruk
Ludruk
merupakan salah satu kesenian Jawa Timuran yang cukup terkenal, yakni
seni panggung yang umumnya seluruh pemainnya adalah laki-laki. Ludruk
merupakan suatu drama tradisional yang diperagakan oleh sebuah grup
kesenian yang di gelarkan disebuah panggung dengan mengambil cerita
tentang kehidupan rakyat sehari-hari (cerita wong cilik), cerita
perjuangan dan lain sebagainya yang diselingi dengan lawakan dan
diiringi dengan gamelan sebagai musik.
Dialog/monolog dalam ludruk
bersifat menghibur dan membuat penontonnya tertawa, menggunakan bahasa
khas Surabaya, meski kadang-kadang ada bintang tamu dari daerah lain
seperti Jombang, Malang, Madura, Madiun dengan logat yang berbeda.
Bahasa lugas yang digunakan pada ludruk, membuat dia mudah diserap oleh
kalangan non intelek (tukang becak, peronda, sopir angkutan umum, dll).
Sebuah
pementasan ludruk biasa dimulai dengan Tari Remo dan diselingi dengan
pementasan seorang tokoh yang memerankan "Pak Sakera", seorang jagoan
Madura.
I. Lenong
Lenong adalah seni pertunjukan teater
tradisional masyarakat Betawi, Jakarta. Lenong berasal dari nama salah
seorang Saudagar China yang bernama Lien Ong, konon, dahulu Lien Ong lah
yang sering memanggil dan menggelar pertunjukan teater yang kini
disebut Lenong untuk menghibur masyarakat dan khususnya dirinya beserta
keluarganya. Pada zaman dahulu (zaman penjajahan), lenong biasa
dimainkan oleh masyarakat sebagai bentuk apresiasi penentangan terhadap
tirani penjajah.
Kesenian teatrikal tersebut mungkin merupakan
adaptasi oleh masyarakat Betawi atas kesenian serupa seperti "komedi
bangsawan" dan "teater stambul" yang sudah ada saat itu. Selain itu,
Firman Muntaco, seniman Betawi, menyebutkan bahwa lenong berkembang dari
proses teaterisasi musik gambang kromong dan sebagai tontonan sudah
dikenal sejak tahun 1920-an.
Lakon-lakon lenong berkembang dari
lawakan-lawakan tanpa plot cerita yang dirangkai-rangkai hingga menjadi
pertunjukan semalam suntuk dengan lakon panjang dan utuh.
Pada
mulanya kesenian ini dipertunjukkan dengan mengamen dari kampung ke
kampung. Pertunjukan diadakan di udara terbuka tanpa panggung. Ketika
pertunjukan berlangsung, salah seorang aktor atau aktris mengitari
penonton sambil meminta sumbangan secara sukarela. Selanjutnya, lenong
mulai dipertunjukkan atas permintaan pelanggan dalam acara-acara di
panggung hajatan seperti resepsi pernikahan. Baru di awal kemerdekaan,
teater rakyat ini murni menjadi tontonan panggung.
Terdapat dua jenis
lenong yaitu lenong denes dan lenong preman. Dalam lenong denes (dari
kata denes dalam dialek Betawi yang berarti “dinas” atau “resmi”), aktor
dan aktrisnya umumnya mengenakan busana formal dan kisahnya ber-seting
kerajaan atau lingkungan kaum bangsawan, sedangkan dalam lenong preman
busana yang dikenakan tidak ditentukan oleh sutradara dan umumnya
berkisah tentang kehidupan sehari-hari. Selain itu, kedua jenis lenong
ini juga dibedakan dari bahasa yang digunakan; lenong denes umumnya
menggunakan bahasa yang halus (bahasa Melayu tinggi), sedangkan lenong
preman menggunakan bahasa percakapan sehari-hari.
Kisah yang
dilakonkan dalam lenong preman misalnya adalah kisah rakyat yang
ditindas oleh tuan tanah dengan pemungutan pajak dan munculnya tokoh
pendekar taat beribadah yang membela rakyat dan melawan si tuan tanah
jahat. Sementara itu, contoh kisah lenong denes adalah kisah-kisah 1001
malam. Pada perkembangannya, lenong preman lebih populer dan berkembang
dibandingkan lenong dene.
J. Ubrug
Kata Ubrug memang bagi
sebagian orang sangat asing ditelinga. Ubrug di Pandeglang dikenal
sebagai kesenian tradisional rakyat yang semakin hari semakin dilupakan
oleh penggemarnya. Istilah ‘ubrug’ berasal dari bahasa Sunda
‘sagebrugan’ yang berarti campur aduk dalam satu lokasi. Ini memang
menggambarkan unsur-unsur kesenian yang memasyarakat. Pertunjukan ubrug
sederhana dan bisa dilakukan di mana saja, bahkan tak jarang seniman
ubrug bisa pentas tanpa dekorasi dan panggung. Mereka bisa pentas di
tanah lapang dengan arena pertunjukan berbentuk tapal kuda, penonton
mengelilingi tempat permainan. sehingga penonton bisa menyaksikannya
dari berbagi sudut. Kedekatan antara pemain dengan penonton ini
memungkinkan pertunjukkan menjadi semakin menarik dan terlihat
memasyarakat.
Kesenian ubrug termasuk teater rakyat yang memadukan
unsur lakon, musik, tari, dan pencak silat. Semua unsur itu dipentaskan
secara komedi. Di masa lalu, ubrug biasanya pentas pada acara hajatan.
Mereka dipanggil oleh orang yang punya hajat dan dibayar untuk
pertunjukkan yang dilakukan. Sedangkan para penonton tidak dipungut
bayaran. Bahasa yang digunakan dalam pementasan, terkadang penggabungan
dari bahasa Sunda, Jawa, dan Melayu (Betawi). Alat musik yang biasa
dimainkan dalam pemenetasan adalah gendang, kulanter, kempul, gong
angkeb, rebab, kenong, kecrek, dan ketuk.
Seperti umumnya bentuk
kesenian, ubrug juga memiliki fungsi estetik dan sosial. Kesenian yang
hingga kini masih ada di sejumlah daerah di Banten ini, masih tetap
menjadi sarana hiburan bagi sebagian masyarakat. Dengan gaya komedinya,
baik pada dialog dan akting, para seniman ubrug bersaing menghibur
masyarakat di tengah gempuran segala seni modern. Sementara secara
sosial, ubrug merupakan potret pemersatu masyarakat. Selain itu,
lakon-lakon yang dipertunjukkan dalam ubrug juga bisa menjadi sarana
penyampai pesan-pesan bijak sesuai dengan kejadian yang ada di
masyarakat.
Selain berkembang di provinsi Banten, kesenian Ubrug pun
berkembang sampai ke Lampung dan Sumatera Selatan yang tentunya
dipentaskan menggunakan bahasa daerah masing-masing.
Dalam pementasan
kesenian Ubrug, kesenian ini ditampilkan secara bertahap. Awalnya
sebelum kesenian ini dimulai alat musik perkusi atau Tatalu akan ditabuh
sedemikian rupa agar acara pertunjukan terdengar lebih semarak. Tatalu
ini ditabuh selama kurang lebih 10 hingga 15 menit. Kemudian dilanjutkan
dengan masuknya beberapa wanita ke panggung untuk menyanyi lagu-lagu
khas Banten.
Selanjutnya para pelawak pria yang nantinya akan pentas
masuk dan menari dengan para wanita tadi. Setelah mereka menari, lalu
dimulailah lakon atau cerita dalam teater rakyat ini. Biasanya
cerita-cerita yang dipentaskan dalam teater Ubrug berupa cerita rakyat,
dongeng atau cerita sejarah.
Beberapa cerita yang sering dimainkan
ialah Dalem Boncel, Jejaka Pecak atau Si Jampang, pahlawan rakyat
Banten. Gaya penyajian ceritanya dilakukan seperti pada teater rakyat,
menggunakan gaya humor atau banyolan, dan sangat karikatural sehingga
selalu dapat mencuri perhatian para penonton.
Dan teater ini akan
berakhir ketika para penari wanita masuk ke panggung dan menari dan
kemudian disambut dengan para pemain teater yang memakaikan kain, baju,
topi ke tubuh para penari. Kemudian para penari tersebut terus menari
beberapa saat dan kemudian barang-barang tadi dikembalikan kepada
pemiliknya.
Untuk memeriahkan dan mengiringi pementasan teater Ubrug
ada beberapa alat musik tradisional Banten yang digunakan seperti
gendang besar, gendang kecil, gong kecil, bonang, rebab, kecrek dan
ketuk. Semua alat musik ini dimainkan seiring dengan pementaan Teater
Ubrug yang pada awalnya dipentaskan di halaman yang cukup luas dengan
tenda daun kelapa atau rubia.
Untuk penerangan digunakan lampu
blancong, yaitu lampu minyak tanah yang bersumbu dua buah dan cukup
besar yang diletakkan di tengah arena. Lampu blancong ini sama dengan
oncor dalam ketuk tilu, sama dengan lampu gembrong atau lampu petromak.
Sekitar tahun 1955, ubrug mulai memakai panggung atau ruangan, baik yang
tertutup ataupun terbuka di mana para penonton dapat menyaksikannya
dari segala arah.
Read more »